Beduk, juga ditulis sebagai bedug, adalah alat musik tabuh seperti gendang besar. Beduk merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Di Indonesia, sebuah beduk biasa dibunyikan untuk pemberitahuan akan datangnya waktu salat atau sembahyang. Juga digunakan dalam kesenian tradisional salah satunya dalam Seni Reak. Beduk terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, beduk menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Menurut arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan, maskawin, dan upacara minta hujan.
Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.[1]
Berdasarkan legenda Cheng Ho dari Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Kemudian, ketika Cheng Ho hendak pergi, dan hendak memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara beduk dari masjid. Sejak itulah, beduk kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di negara Cina, Korea dan Jepang, yang memposisikan beduk di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Di Indonesia, sebuah beduk biasa dibunyikan untuk pemberitahuan akan datangnya waktu salat atau sembahyang. Saat Orde Baru berkuasa beduk pernah dikeluarkan dari surau dan masjid karena mengandung unsur-unsur non-Islam. Beduk digantikan oleh pengeras suara. Hal itu dilakukan oleh kaum Islam modernis, namun warga NU melakukan perlawanan sehingga sampai sekarang dapat terlihat masih banyak masjid yang mempertahankan beduk.
Komentar
Posting Komentar